BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 15 Desember 2009

WANITA SEBAGAI SUBYEK HUKUM DAN KECAKAPAN HUKUM

POKOK BAHASAN

Subyek hukum dan Kecakapan hokum, Pentingnya Hukum Berspektif Perempuan, Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dan Pentingnya Perempuan sebagai subyek.

SUBYEK HUKUM dan KECAKAPAN HUKUM

Pengertian Subyek Hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
Sedangkan Kecakapan hukum adalah kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum.

SUBYEK HUKUM

* Orang merupakan subjek hukum di samping badan hukum. (Ini mrupakan hukum yg berlaku universal).

* Sebagai subjek hukum orang pada umumnya harus mempunyai:
  • Hak
  • Kewajiban dan
  • Kewenangan
* Realita di lapangan, tidak semua orang mempunyai kewenangan hukum.

* Agar memiliki kewenangan hukum, hukum sendiri mensyaratkan beberapa hal:
  • Kedewasaan
  • Kesehatan jiwa (tidak gila atau terbelakang mental)
  • untuk melakukan perbuatan hukum seseorang dipersyaratkan oleh hukum secara khusus, yaitu:
  • Adanya kewenangan yang diberikan terhadap warga negara domestik saja dan tidak diberikan kepada penduduk warga negara lain.
  • Sistem Hak Eropa Kontinental Konvensional tidak memberikan kewenangan melakukan Perbuatan hukum bagi istri yang bersuami berdasar prinsip satu kapal satu nahkoda.
  • KUHPerdata Belanda lama dan KUHPerdata Indonesia sekarang masih memberlakukan prinsip ketidakwenangan wanita bersuami.
  • Meskipun begitu, sejak th 1963 Indonesia melalui MA RI telah mencabut ketentuan wanita bersuami tidak dapat mlakukan perbuatan hukum. Diperkuat lagi dalam P.31 (2) UU No.1/1974.
  • Amerika Serikat memberi kewenangan bagi wanita untuk dapat memberikan suara dalam pemilu, baru ada sejak th 1930 setelah diamandemannya konstitusi mereka.

* Setelah perang Dunia II, hampir semua sistem hukum dunia sudah memberikan hak & kewenangan yang sama antara laki-laki dan perempuan (lajang atau bersuami).

* Belanda dan Jerman telah memberikan kewenangan hukum yang sama bagi wanita sejak tahun 1956.

* Hak waris juga sama antara laki-laki dan wanita.
* Khusus untuk negara yang warganya merupakan muslim berlaku ketentuan bahwa hak waris laki-laki adalah 2 x lebih banyak dari hak waris perempuan dengan alasan:
* Anak laki-laki akan membiayai rumah tangganya yang baru
* Anak perempuan akan dibiayai oleh suaminya yang baru

* Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim mengatur keberlakuan hak waris sesuai dengan hak menurut agama masing-masing pewaris.

Pentingnya Hukum Berspektif Perempuan
  1. Bagaimana hukum dalam rumusan dan prakteknya berdampak pada perempuan.
  2. Mengkritisi asumsi netralitas dan objektifitas hukum.
  3. Mengidentifikasi kontribusi hukum dalam mensubordinasikan dan mendiskriminasikan perempuan.
  4. Bagaimana hukum selanjutnya dapat digunakan untuk merubah situasi yang tidak menguntungkan perempuan (menjamin akses pada keadilan).

KEDEWASAAN

* Setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum jika dia sudah dewasa.

* Ketentuan usia dewasa orang disetiap sistem hukum umumnya ditentukan jika sudah 21 tahun.
* KUHPerdata Belanda dan Indonesia menetapkan usia dewasa seseorang jika sudah 21 tahun.
* Dalam UU No.1/1974 ditetapkan usia kedewasaan adalah 18 tahun, karena setelah itu seseorang tidak lagi dibawah kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat 1) atau wali (Pasal 50 ayat 1)
* Terdapat perbedaan perlakuan hak bagi penduduk domestik dengan penduduk asing dalam Sistem Eropa Kontinental dan Anglo Saxion.

* Sistim eropa kontinental klasik dan juga sistem hak romawi menetapkan penduduk asing tidak dapat memperoleh hak milik sipil & tidak dapat mlakukan peralihan hak secara formal sebagaimana yang dilakukan penduduk domestik.
* Penduduk asing tidak dapat ikut serta sebagai para pihak dalam kontrak yang formal dan juga tidak dapat mlakukan kontrak ijab kabul formal.

* Hak Romawi Klasik pad masa Justinian telah mencabut pembatasan tadi. Juga telah dikenal Penduduk asing yang menjadi penduduk tetap yg memiliki hak yang hampir sama dengan hak penduduk domestik. Jadi di Indonesia status mereka sama dengan pemegang kartu KIMT (Kartu Izin Menetap Tetap).

* Sistem Eropa Kontinental Konvensional menganut sistem personal dan Anglo Saxon menganut teritorial.

USIA PERKAWINAN

* Berapakah umur yang diperbolehkan bagi seseorang dapat melangsungkan pernikahan:
* UU No.1/1974 menyatakan seorang laki-laki yang berusia minimal 19 tahun dan wanita minimal 16 tahun dapat melakukan pernikahan dengan catatan jika umur mereka di bawah 21 tahun diperlukan izin dari orang tuanya.
* Jika perkawinan dilakukan oleh laki-laki di bawah usia 19 tahun dan 16 tahun bagi wanita diperlukan izin dari pengadilan.
* KUHPerdata menetapkan batasan usia minimal untuk menikah 18 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita
* Ketentuan ini mencerminkan corak universal dari hak perkawinan dalam sistem hukum manapun.

Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW)

Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan. Menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan.

Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah. Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara-Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.

Namun demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut. Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik, terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi. Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial, yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama.

Penegakan itu berupa antara lain wewenang menguji dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara (TUN). Ruang lingkup wewenang menguji yang telah ada berarti bahwa mayoritas peraturan perundangan (termasuk Keputusan TUN) tidak dapat diuji terhadap kaidah diskriminasi atau hak wanita. Jadi, mayoritas peraturan perundangan boleh dikeluarkan dan berlaku baik kalau bersifat diskriminatif dan melanggar hak wanita atau tidak.

Hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW. Dalam sistem tersebut, ada ketentuan di bidang perkawinan dan kewarisan. Ketentuan tersebut belum berdasarkan persamaan antara pria dan wanita dan, bahkan, bersifat diskriminatif di muka CEDAW. Khusus untuk negara yang warganya merupakan muslim berlaku ketentuan bahwa hak waris laki-laki adalah 2 x lebih banyak dari hak waris perempuan dengan alasan:
• Anak laki-laki akan membiayai rumah tangganya yang baru
• Anak perempuan akan dibiayai oleh suaminya yang baru

PENTINGNYA PEREMPUAN SEBAGAI SUBYEK

SEBELUMNYA, dalam pidato sambutannya pada Seminar dan Lokakarya memperingati Hari Perempuan Sedunia, di Jakarta, 31 Maret lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan mengatakan masih diperlukan banyak sekali ketentuan perundang-undangan yang dapat memperkecil kesenjangan antara peraturan perundang-undangan yang telah ada (di antaranya UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW) dan kenyataan diskriminasi terhadap perempuan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (Jurnal Perempuan On Line, 4/4).

Beberapa hal perlu ditelusuri lebih lanjut.

Pertama, tentu saja kesejahteraan perempuan penting dimaknai dalam arti luas. Sebagai contoh, adalah kenyataan di lapangan bahwa perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) rentan mengalami kondisi kematian dan reproduksi yang buruk. Sebagian istri korban kekerasan seksual oleh suaminya jelas memiliki posisi tawar yang rendah dalam pemenuhan hak-hak reproduksinya. Kehadiran UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT yang berlaku sejak 22 September 2004, dengan demikian menjadi penting untuk dilihat implementasinya di lapangan.Termasuk bagaimana pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) sesuai mandat UU ini.

Kedua, dalam makna yang lebih luas, jelas bahwa sistem hukum merupakan salah satu ranah pergulatan hak asasi bagi perempuan. Artinya, sistem hukum merupakan sumber daya dalam gerakan penegakan hak asasi perempuan, guna meningkatkan kesejahteraan perempuan. Sistem hukum ini menyangkut substansi legal yang wujudnya berupa norma dan peraturan perundangan (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan desa, dan sebagainya), legal structure (institusi penegak hukum), dan legal culture meliputi ide, sikap, kepercayaan, harapan, dan pandangan tentang hukum.

Artinya, bekerja dengan hukum dimaknai perempuan tidak saja bagaimana mengkritisi dan memperjuangkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif perempuan, melainkan juga menangkap dinamika lapangan demi implementasinya. Misalnya, sejauh mana sebuah UU diterapkan dalam sistem peradilan atau kewajiban penegakan hak asasi oleh negara (pemerintah) dijalankan.

Kesejahteraan sesungguhnya juga dimaknai sebagai keleluasaan perempuan mengakses keadilan substantif, termasuk mempersoalkan proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang selama ini cenderung elitis, teknokratis, serta membelenggu perempuan (patriarkis). Simak saja bagaimana UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melanggengkan peran jender laki-laki dan perempuan, dan dalam kenyataannya menyingkirkan banyak perempuan yang menjadi dan berperan sebagai kepala keluarga.

Demikian pula dengan pasal-pasal dalam KUHP yang memasukkan perkosaan dan kekerasan seksual lainnya dalam kategori "kejahatan kesusilaan" (crime against ethics), dan bukannya "kejahatan terhadap nyawa" (crime against person).
KUHAP sendiri juga belum mengatur acara pidana yang sensitif jender dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini mengapa penting bagi gerakan perempuan untuk mengkritisi sejumlah RUU yang berada dalam Program Legislasi Nasional DPR saat ini.

Di antaranya terdapat beberapa "pekerjaan rumah" yang terkait langsung dengan persoalan perempuan dan karenanya perlu dikritisi, seperti Amandemen UU Kesehatan, Amandemen UU Perkawinan, Revisi KUHP, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, Revisi UU Keimigrasian, RUU Perlindungan Saksi dan Korban.

KESIMPULAN

Seorang wanita yang mencari penghapusan diskriminasi atau perlindungan haknya sebagaimana diggariskan CEDAW boleh menyimpulkan bahwa hukum Indonesia perlu diubah. Dalam sistem hukum negara, seorang wanita tersebut menemui pengakuan ketentuan CEDAW yang telah lengkap. Pengakuannya terdapat dalam UUD 1945 maupun Pancasila secara perlu diperbaiki maupun TAP MPR No.XVII/MPR/1998 sebagaimana dilaksanakan UU No.39/1999 secara cukup bagus.

Bagaimanapun, pengakuan hak dan penghapusan diskriminasi buat seorang wanita tersebut dikurangi mekanisme penegakannya. Mekanisme pengekannya perlu diubah dengan penetapan keberlakuan CEDAW dalam hukum negara, pengukuhan hak menguji dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan TUN dan peningkatan wewenang lembaga eksekutif seperti Komnas HAM.

Untuk itu, para perempuan berjuang agar sistem hukum menempatkan perempuan sebagai subyek, tidak hanya bagaimana mendorong lahirnya peraturan perundang-undangan yang berkeadilan jender, namun terlebih membangun paradigma (cara pandang) hukum yang menempatkan perempuan sebagai subyek. Di sinilah pentingnya pengalaman perempuan "hadir" sebagai manusia yang utuh dan berdaulat, sebagai subyek (subject of law).





Sumber :
Id.wikipedia.org/wiki/subyek_hukum
reformasikuhp.org/?cat=31
www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/ojones.doc
Harian Kompas, 18 April 2005
www.kesrepro.info/?q=node/255
elearning.upnjatim.ac.id/.../Usia_dewasa_dan_kecakapan_hukum_seorang_istri.ppt?...

0 komentar: