BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 13 Desember 2009

IZIN LABEL HALAL DI SETIAP PRODUK MAKANAN


ABSTRAK

Izin label halal merupakan Suatu kegiatan pengujian secara sistematik yang pencantuman tulisan atau pernyataan halal mengenai pangan atau bentuk lain yang disertakan pada pangan untuk mengetahui apakah suatu produk barang yang di produksi oleh sebuah perusahaan berstatus sebagai produk halal dan juga memenuhi ketentuan halal. Tujuan akhir dari izin label halal di setiap produk makanan halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal serta tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi oleh umat Islam.

PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang dijamin kehalalannya cukup tinggi. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi masyarakat akan konsumsi makanan halal. Yang dimaksud dengan makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi oleh umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan Bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.

Hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia. Pada pasal 30 ayat 1 UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.

Apakah label itu? Label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Pada ayat 2 disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :

a. Nama produk

b. Daftar bahan yang digunakan

c. Berat bersih atau isi bersih

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.

e. Keterangan tentang halal; dan

f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa



Pada ayat 3 diatur selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan.



Yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam yaitu:

1) bahan-bahannya tidak mengandung babi atau berasal dari babi;

2) semua bahan yang digunakan pada produk berasal dari hewan halal yang disembelih dengan syariat Islam;

3) produk tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan yang berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran;

4) semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan, dan transportasinya tidak digunakan untuk babi;

5) semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Namun karena heteroginitas orang dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan motivasi, maka pelabelan halal menjadi perlu dan bahkan harus. Persoalannya adalah apakah untuk menulis halal di dalam setiap kemasan produk itu harus selalu meminta izin? Untuk menjawab ini, menarik kiranya untuk menelaah UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen. Di dalam UU tersebut dikemukakan bahwa kewajiban pengusaha (Pasal 7 ayat a dan b) yang antara lain :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

Selanjutnya di dalam Bab IV Pasal 8 , pengusaha dilarang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukurahn yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengelolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan dan promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadarluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan sanksinya diatur di dalam Bab XIII Pasal 62 sebagai berikut :

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17, ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan pasal 18 pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagimanadimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

3. Tehadap pelangaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Dari sisi prosedur, selain kandungan dari produk, perusahaan harus pula melaporkan mengenai proses produksinya kepada pemerintah. Apabila terjadi kebohongan dari apa yang telah dinyatakannya, maka penegakan hukum secara konsekuen haruslah dilaksanakan.

Sedangkan untuk UKM, yang skala usahanya kecil dan di dalam proses prduksinya diantaranya menggunakan produk dari perusahaan besar (seperti bumbu masak), maka yang perlu dilakukan adalah membuat pernyataan halal untuk produknya dan menuliskan komposisi dari produk yang dihasilkannya tersebut termasuk merk dagang dari komposisi (yang bersertifikat halal).

Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI No. 427/Men.Kes/SKBMII/1985 (No.68 Tahun 1985) Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan. Pada peraturan ini disebutkan sebagai berikut :

Pasal 2: "Produsen yang mencantumkan tulisan "halal" pada label/penandaan makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.

Pasal 3: "Produsen sebagaimana dimaksud pada pasal 2 keputusan bersama ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada departemen kesehatan RI dengan mencantumkan keterangan tentang proses pengolahan dan komposisi bahan yang digunakan"

Pasal 4 (ayat 1) "Pengawasan preventif terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 keputusan bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Departemen Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan".

Berdasarkan peraturan tersebut ijin pencantuman label didasarkan atas hasil laporan sefihak perusahaan kepada departemen kesehatan RI tentang proses pengolahan dan komposisi bahan, belum didasarkan atas sertifikasi halal. Adapun kegiatan sertifikasi halal di Indonesia baru dilakukan semenjak didirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) tahun l989.

Sedangkan ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi yang didasarkan atas hasil sertifikasi halal baru dikeluarkan tahun 1996 yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No.: 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan "Halal" Pada Label Makanan yang direvisi dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.924/Menkes/ SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82 Menkes/Sk/I/1996 tersebut.

Pada Kepmenkes RI No. 82 Menkes/Sk/I/1996 yang telah direvisi ini disebutkan:

Pasal 8: "Produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan "halal" wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal".

Pasal 10: "(1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dari hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa. (3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan".

Pasal 11: "Persetujuan pencantuman tulisan "halal" diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia".

Pasal 12: "(1) berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal memberikan: (a) persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat "Halal", (b) penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat "halal". (2) penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan".

Pasal 17: "Makanan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan "Halal" sebelum ditetapkannya keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkannya keputusan ini".

UU RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 34 (1) UU No. 7/1996 tentang Pangan disebutkan:

"Setiap orangyang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut".

Pada Penjelasan UU No. 7/1996 Pasal 34 (1) disebutkan:

"Dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya ".

Selanjutnya dalam UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 8 (h) disebutkan:

"Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label

Dan dalam Pasal 62 (1) disebutkan:

"Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dst dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00- (dua milyar rupiah)".

Perusahaan yang akan melakukan pelabelan halal secara legal harus melakukan sertifikasi halal. Hal ini untuk menghindari adanya pernyataan halal yang tidak valid. Suatu perusahaan yang membuat pernyataan halal secara tidak valid dapat dikenakan sanksi sesuai dengan pasal 62 ayat 1 UU No. 8 tahun 1999 karena termasuk sebagai pelanggaran terhadap pasal 8 (h) dari UU tersebut.

Mendapatkan Sertifikat Halal dan mencantumkan tanda atau tulisan halal pada label produk adalah cara untuk melindungi umat dari mengonsumsi produk yang tidak halal, dan untuk mendukung hak informasi bagi konsumen agar mengetahui kehalalan suatu produk.
Tahun 2001 keluar SK Menteri Agama No 518 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, SK no 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, dan SK no 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal.

Peraturan-peraturan tersebut menjadi kontroversial dan ditolak semua pihak.
Secara teknis tentang pencantuman label ‘’halal’’ Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan SK No : 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan.

Selanjutnya pada pasal 12 ayat 1 diatur Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal (Dirjen) memberikan :
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat ‘’HALAL’’.
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat ‘’HALAL’’.

Biaya Pemeriksaan Halal dan Biaya Sertifikat berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 1 juta per produk dengan masa berlaku dua tahun. Besarnya menjadi relatif karena terjadi subsidi silang antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil. Bahkan, ada juga yang dibebaskan dari biaya. Jadi, tidak ada alasan untuk memberatkan.



Pada Pasal 10 disebutkan, pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Label memuat informasi mengenai produk seperti bahan yang digunakan dan tanggal kedaluwarsa. Dengan turut sertanya Depag dalam memberi pengakuan proses pelabelan halal, proses menjadi tidak efisien dan rentan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).


Hal ini menuntut peningkatan peran serta masyarakat, pemerintah, penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) sebagaimana di atur dalam Undang-undang No 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan yang timbul seperti uraian latar belakang dan perlu diperbaiki untuk pelaksanaan jaminan produk halal di lapangan, adalah:

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal dalam pelaksanaanya di lapangan belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam terhadap pangan dan produk lainnya seperti produk pangan yang tidak dikemas. Keadaan demikian menjadikan umat Islam menemui kesulitan dalam membedakan mana yang halal dan mana yang haram, menimbulkan keraguan lahir dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya.

2. Tidak adanya kepastian hukum mengenai institusi mana di dalam sistem tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi/lembaga penjamin halal terhadap pangan dan produk lainnya, sehingga tidak terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal.

3. Produksi dan peredaran produk sulit dikontrol sebagai akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, iradiasi, dan bioteknologi.

4. Adanya ketidaksingkronan produk hukum antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan peraturan di bawahnya yakni PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

5. Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan pemerintah seperti halnya sistem yang dipraktikkan di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.

6. SK Menteri Agama No 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang secara implisit menunjuk MUI sebagai badan standarisasi halal, dan SK Menteri Agama No 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal dinilai menghambat persaingan diantara pelaku usaha karena secara teknis akan menyulitkan pelaku usaha yang akan melakukan sertifikasi halal. Sedangkan SK Menteri Agama No 519 berbenturan dengan SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ‘’Halal’’ pada Label Makanan.

7. Belum adanya standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan . Sebab, selama ini LP POM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.

8. Belum tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan bidang keilmuanya untuk proses labelisasi makanan halal hingga ke tingkat daerah. Sehingga, terkesan proses sertifikasi makanan halal di beberapa daerah dilakukan hanya dengan kasat mata tanpa melalui uji laboratorium.

9. Sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang halal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari sisi produsen sertifikat halal mempunyai peran antara lain;

(1) sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup muslim,

(2) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen,

(3) meningkatkan citra dan daya saing perusahaan, dan

(4) sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area pemasaran.

SARAN

Cara termudah dalam memberikan suatu keterangan yang benar kepada konsumen adalah dengan mencantumkan label halal. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk pangan halal,

Maka pemerintah mengeluarkan aturan-aturan pelaksana yang bersumber dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dewan Pangan Halal Dunia bertujuan untuk menyeragamkan standar yang berlaku bagi Lembaga Pemeriksa yang mengeluarkan sertifikat halal bagi produk pangan di dunia.

Seandainya semua pencantuman logo atau tanda "halal" pada produk makanan adalah benar adanya, pasti konsumen Muslim akan mendapatkan rasa tenteram ketika mengonsumsinya. Adanya jaminan tentang informasi halal khususnya untuk konsumen Muslim dipandang penting karena menyangkut masalah keyakinan dan hukum syariat. Semestinya, setiap pencantuman tanda/logo halal pada label produk sudah melewati tata cara dan memenuhi syarat undang-undang serta ketentuan syariat. Artinya pencantuman label halal tidak boleh dilakukan sendiri tanpa sertifikasi dan izin.

wajib menjamin bahwa pernyataannya itu benar adanya. Undang-undang perlindungan konsumen melarang produsen memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. Produsen berkewajiban selalu beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, misalnya melakukan sertifikasi halal guna menjamin konsumen mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur.

Sebagai cara yang paling mudah untuk terhindar dari tanda/logo halal tidak halal, kita sepatutnya tahu bahwa setelah suatu produk mendapat sertifikasi halal, izin pencantuman tanda/logo halal pada label kemasan adalah urusan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Jadi, periksalah tanda/logo halal di label apakah mempunyai nomor sertifikat halal dari MUI dan tanda izin edar dari BPOM sebagai jaminan kehalalan. Masa berlaku sertifikat halal untuk dua tahun dan terbuka untuk diperpanjang, tetapi fotokopi sertifikat halal MUI tidak berlaku sebagai jaminan kehalalan. Sertikat halal MUI adalah milik MUI oleh karenanya dapat diminta untuk dikembalikan kepada MUI bila ternyata digunakan secara tidak layak oleh produsen.

Sumber :

lppommuikaltim.multiply.com/.../Sertifikasi_dan_Labelisasi_Halal -

halalsehat.com/.../Halal.../RUU-PRODUK-HALAL-DAN-PERUBAHAN-MASYARAKAT.html -

0 komentar: